Senin, 07 Februari 2011

Ketika Kantor-Keluarga berjalan harmonis

Hari ini saya ikut DTU Kepegawaian, yaaa, setelah 2 angkatan akhirnya saya dapet giliran juga ikut diklat ini, senen-pancoran ngangkot pun harus ditempuh (biasanya jalaaan kemana2)

Ternyata yang membuka diklat ini langsung  Kepala Biro SDM Sekjen, Pak Anies Basalamah.. Dan eh eh eh, ternyata beliau gak sekedar "Dengan ini diklat saya buka tok tok tokk", ternyata beliau juga emberi ceramah/materi..

Salah satu yang dibahas adalah Golden Shakinghand, bagaimana mengkondisikan pegawai yang keluar/ berhenti dari instansi merasa dihargai, tidak melulu masalah materi.. Beliau bercerita tentang seorang pegawai yang mengajukan mutasi ke Pemda karna selama ini ia bertugas jauh dari keluarga, yang kalo diitung2 niii, duit yang dikonsumsi jatohnya sama, karna slama ini abis buat ongkos wara wiri.. Nah kalo jatohnya sama mending tanpa RENUMERASI tapi deket keluarga toh, begitu kata pegawai yang bersangkutan

Saya, sebagai bagian dari Long-Distance-Married-of-Finance-Ministry's-Employee (e bener ga sih) pun memanfaatkan momen ini untuk bertanya (red : curhat colongan) kepada si empunya tempat yang bakal memproduksi peraturan-peratutan tentang dunia permutasian ini.. 

Saya Neni dari DJPK. Bapak tadi bercerita tentang Golden Shakehand yang menceritakan salah satu contoh problematika pegawai Kemkeu yang keluar instansi demi dekat dengan keluarga. Nah, seperti yang kita tahu, banyak suami istri yang sama-sama Pegawai Kemkeu, tidak bisa berumahtangga secara "normal" karena terpisah. Penyebabnya adalah masalah formasi pegawai, konflik kepentingan, dan sebagainya (biar keliatan banyak). Bagaimana kita menjawab persoalan ini. Apakah tidak ada solusi yang lebih efektif bagi pegawai? *merasakan aura akan ditimpuk karna menjadi penyebab tertundanya coffebreak* *yeee, namanya juga usaha*
 Dan Bapak Kepala Biro Sumber Daya Manusia SEKJEN kita ini menjawab (kenapa  tidak saya singkat jadi Kabiro SDM? biar kalimatnya panjang, jadi ga nanggung buat jadi kalimat penghubung, termasuk keterangan dalam kurung ini -__- )
Jadi begini Mbak Neni, walaupun tidak se-ekstrim Bank, konflik kepentingan dalam kantor itu memang membuat organisasi tidak sehat. Beberapa unit eselon I menerapkan sistem tes.. Jadi, untuk instansi strategis atau instansi pusat, jika ingin dimutasikan kesitu, harus tes. Jadi, kalau memang berkeinginan mutasi ke tempat yang bersangkutan, ya tes saja. Tapi saat ini sedang diproses peraturan tentang Pola Mutasi, jadi mekanisme mutasi akan diseragamkan

Jadi saya ingin menuliskan ocehan saya tentang keadaan ini.. Sedikit kesimpulan yang saya ambil dari jawaban pak Karo adalah keberadaan suami istri dalam satu satuan kerja, sangat berpotensi menimbulkan conflict of interest yang juga sangat berpotensi mengganggu stabilitas organisasi. Istilah pak Karo bikin organisasi gak sehat.. Lalu, instansi-instansi strategis (katakanlah di Jawa dan beberapa kota-kota besar di luar Jawa) serta Instansi Pusat berisi SDM-SDM dengan kualitas nomor satu sehingga ketika orang diluar lingkup tersebut ingin masuk, harus melalui tes untuk melihat seberapa pantas individu dengan segala kompetensinya, memasuki instansi-instansi tersebut.. Lalu mendengar ungkapan pemateri selanjutnya yang membahas "percobaan pola mutasi pelaksana" di Sekjen saja luar biasa rumit, maka nampaknya pola mutasi pelaksana yang ideal untuk keseluruhan Kementerian Keuangan masih akan lama terwujud, selama penantian kita menunggu perdamaian Ahmad Dhani dan Maia Estianty *tsaaaaaaah*

Di sisi lain, ada dua wacana Bapak Menteri kita berkaitan dengan kerempongan seputar mutasi-pasutri ini..

Pertama beliau mewacanakan untuk membuat peraturan yang isinya dilarang menikah dengan sesama pegawai Kemenkeu.. Pilot Projectnya diwacanakan DJP.. Katanya alasannya gara2 Bagian Kepegawaian DJP sangat tersita dengan masalah istri ikut suami dan hal-hal semacamnya (sorry for use katanya, abis katanya gitu sih ;p)

Emmm, Ammmm, Emmm.. Buat saya yang level terendah ini sih, sound so weird ?_? Aduh, susah nih nemu analoginya.. Kalo gak mau ketabrak, jangan nyebrang.. Kalo gak mau jatoh, jangan naek sepeda.. Kalo gak mau kerja terpisah, ya jangan kawin ama sesama pegawe.. Gak pas juga analoginya, tapi gimana yaaa, ya dibilang susah juga ;p Wacana ini rasanya sudah melewati batas asasi manusia..

Wacana lainnya adalah Kemkeu akan melakukan recruitment kheusus Indonesia Timur.. Mungkin ini dilatarbelakangi banyaknya kebutuhan SDM disana sehingga terpaksa pula banyak yang ditempatkan disana, yang entah melihat dari variabel mana, mungkin berpengaruh pada produktivitas kerja (hubungan semangat kerja dengan outputnya saya rasa cukup erat) dan hingga saat ini rasanya Indonesia Timur menduduki rangking atas sebagai daerah yang semoga-gak-disituuu.. Ada pro kontra.. Kontranya adalah, selama ini sistematika rekrutmen Kemkeu sudah baik.. Prinsip rekrutmen adalah terbuka, setiap WNI yang memenuhi persyaratan punya hak dan kesempatan sama untuk mendaftar, tanpa peduli ras-suku-latar belakang lainnya.. Anda memiliki kompetensi sesuai kebutuhan, Anda memiliki hasil skor rekrutmen dengan range tertinggi sesuai jumlah kebutuhan.. Maka selamat datang.. Sekali lagi tidak peduli suku apa aja.. Fair..

Lalu berikutnya, instansi-instansi strategis itu memiliki SDM terbaik (karna yang mau masuk harus melalui tes kheusus).. Are you sure? I mean, banyak kok SDM-SDM tersebar yang memiliki kompetensi superb -yang sayang tidak punya kesempatan- dan ga bisa dipungkiri ada loooh SDM di instansi pusat dan strategis yang belum tentu lebih baik dari SDM-SDM di instansi daerah tak favorit.. Fair?

Sighhh, saya merasakan sangat kok kegalauan *ciyeh galauu* para pembuat kebijakan ini.. Di satu sisi, pegawai yang mendekati usia pensiun layak mendapat tempat dengan sistem homebased, yang sama skali bukan kesalahan beliau-beliau ketika kurang bisa mengikuti tuntutan beban kerja reformasi birokrasi ini.. Mereka telah kenyang melanglang buana di nusantara ini mungkin, wajar jika diberi instansi di daerah strategis, tempat tujuan menghabiskan hari tua.. Gak manusiawi juga rasanya jika mereka tersisih dari seleksi alam setelah mengabdi sekian lama..
Di sisi lain, tuntutan masyarakat-jaman-kebutuhan, membutuhkan stamina dan kompetensi yang tidak sedikit.. Dilematis.. 

Oke, kembali ke bahasan awal.. Kalimat BERSEDIA DITEMPATKAN DIMANA SAJA sudah sangat akrab.. Dari jaman masuk kampus, lamaran CPNS, syarat PNS, dimana yang bersedia membubuhkan tanda-tangan diatas materai tersebut, pasti tau risikonya, dan mau tidak mau harus menelan risiko tersebut.. Bersedia ditempatkan dimana saja, bisa dibaca, bersedia laki kerja dimana, bini dimana.. 

Puluhan, ratusan atau mungkin ribuan suami istri Kemkeu ini hidup terpisah atas nama pengabdian.. Saya salah satunya, baru setaun sih (tapi ngeluhhhhh mulu ;p).. Yah, anggap saja saya menuliskan impian, kondisi ideal bagi Pasutri Kemkeu dimana kehidupan pekerjaan dan keluarga bisa berjalan beriringan secara harmonis.. Saya tau, implementasinya pasti sulit, makan biaya besar, susaaaaaah, buktinya para pembuat kebijakan yang adalah orang-orang hebat (ini pujian beneran, bukan ironi kok :D) belum bisa menciptakan regulasi solutif bagi kedua belah pihak (kantor dan keluarga)

Memang, adanya pertalian suami istri yang dibawa ke ranah pekerjaan itu sangat berisiko menimbulkan konflik kepentingan.. Katanya bikin organisasi gak sehat.. Kalo tidak ada konflik kepentingan, maka organisasi sehat, iyee, tapi pegawenya yang sakit gara2 stres ;p

Pikiran saya sederhana sih.. Apakah kalo risiko besar maka yasudahlah larang saja mereka sekantor, LDM adalah urusan pegawai, sudah tanda tangan toh? Apakah tidak ada upaya untuk meminimalkan risiko tersebut? Bikin regulasi seketat mungkin yang sifatnya meminimalisir risiko munculnya konflik kepentingan.. Memantapkan fungsi pengawasan internal secara jitu dan tepat sasaran.. Mungkin untuk posisi-posisi tertentu yang rawan konlik seperti posisi Pejabat Pembuat Komitmen-Bendahara tetap menjadi area haram diduduki suami-istri..Tapi bekerja dalam satu satker bagi pasutri, asal ada sispetm pengawasan internal baik vertikal maupun horizontal, ada peraturan-peraturan yang jelas dan ketat, maka organisasi bisa berjalan dengan baik.. Memang, kondisi ini harusnya diimplementasikan dalam sistem yang ideal.. Sumber Daya Manusia yang berintegritas yang bekerja dengan sistem yang efektif.. Yah, namanya juga mimpi, boleh dong yang manis-manis..

Indah bukan ketika Organisasi dapat berjalan dengan baik dan sehat, lalu pegawai yang ada didalamnya pun dapat menjalani kehidupan berkeluarga (sesuatu yang primer) yang normal.. Organisasi sehat, pegawai sehat.. Organisasi senang, pegawai senang :) Dua kepentingan berjalan bersama tanpa saling merugikan.. 

p.s : ngomongin masalah hukuman disiplin sebagai pembinaan pegawai yang bukan berarti menjadi penghambat karir pegawai sih saya setuju, selama hukuman disiplin tersebut bukan atas nama korupsi.. Karna menurut saya, korupsi itu seperti syirik, sebuah dosa tak termaafkan dalam konteks bekerja.. :)

Yah, tulisan ini jangan dipikir dalem dalemmm, saya cuma pelaksana yang belum tentu becus bekerja tapi banyak ngoceh kok :D