Senin, 07 Maret 2011

Draft bahan masukan saya untuk RPMK yang tidak berpihak pada pengembangan pegawai

Pada dasarnya RPMK ini bertujuan positif demi kestabilan organisasi. Karna segala pasal-pasal didasarkan pada pertimbangan seperti tertera di awal Rancangan Peraturan Menteri Keuangan ini, kegiatan belajar dimaksudkan untuk meningkatkan kompetensi yang dibutuhkan organisasi. Mencapai kondisi ideal dimana SDM memiliki kompetensi dan kualitas tinggi dengan tetap tertib dan teratur serta sesuai kebutuhan organisasi. Salah satu pertimbangan disusunnya peraturan ini adalah kegiatan belajar di luar kedinasan berjalanan tertib dan teratur, maka sebenarnya yang patut ditertibkan adalah yang dikecualikan dari definisi pegawai negeri pada pasal satu ayat satu, hal ini adalah calon pegawai negeri sipil

Penambahan laporan perkembangan studi selayaknya pegawai tugas belajar memang fair dan merupakan suatu tambahan nilai positif yang sinkron dengan program capacity building yang belakangan menjadi fokus Kementerian Keuangan. Namun jika berbicara mengenai keadilan, adilkan persyaratan boleh mulai belajar (dengan sepenuhnya biaya sendiri, tetap menyelesaikan segala tanggung jawab pekerjaan dalam jam kerja) disamakan dengan pegawai tugas belajar (yang merupakan beasiswa, mendapat subsidi buku maupun biaya hidup, serta memiliki waktu sepenuhnya menjadi menuntut ilmu) yaitu 2 tahun setelah PNS?

Seperti yang kita ketahui, pegawai Kementerian Keuangan (terutama pada instansi DJP, DJPb, DJBC, DJKN) tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Tidak hanya di kota besar, tapi juga kota yang memiliki akses minim dan membutuhkan waktu tidak sedikit. Jangankan adanya kampus dengan akreditasi minimal B, terdapat kampus saja tidak. Jangankan pelosok kota, di beberapa ibukota Propinsi terutama di luar Jawa belum tentu terdapat Lembaga Pendidikan Akreditasi B, kalaupun ada belum tentu program pendidikan yang dibutuhkan organisasi (red : Kementerian Keuangan) memiliki toleransi terhadap jam kerja pegawai. Maka pasal 3 ayat 1 dimana disyaratkan lembaga pendidikan minimal berakreditas B merupakan indikasi ketidakberpihakan Kementerian Keuangan terhadap pengembangan pegawai yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Mungkin peraturan akreditasi ini bisa diterapkan jika kondisi Pendidikan di negeri ini sudah ideal, fasilitas merata, kualitas dan kredibilitas merata di semua bagian negara. Jika yang menjadi pertimbangan adalah kualitas, maka apa guna UPKP? Filterisasi sudah dilakukan saat penerimaan CPNS Sarjana maupun D3 STAN, dengan kondisi ketidakmerataan fasilitas di negeri ini, membatasi akreditasi kampus sama saja dengan membunuh kesempatan dan potensi banyak sekali pegawai Kementerian Keuangan yang tersebar di Indonesia. Jika pilihan yang ditawarkan adalah Universitas Terbuka, dimana sistem belajarnya berbeda dengan lembaga pendidikan pada umumnya, maka Kementerian Keuangan makin mempersempit perkembangan SDM (dikembangkan namun disempitkan?). Tidak semua orang bisa dan mampu mengikuti sistem belajar di Universitas Terbuka, seharusnya pembuat kebijakan memperhatikan sisi humanis para pegawai dengan segala kapasitas, fasilitas, tuntutan dan kesempatan yang diberikan kepada pegawai. UPKP dapat dianalogikan seperti Ujian Nasional. Ada sebuah standarisasi kualitas yang dibutuhkan untuk melihat kapabilitas "siswa" yang berasal dari beragam kualitas "sekolah".  Pegawai dipersilakan menuntut ilmu, karena belajar adalah hak, sedangkan untuk penyesuaian pangkat sebagai konsekuensi pencapaian akademis, pegawai harus memiliki standar yang sama, melalui UPKP. Sekali lagi, jima memang yang dimaksudkan membatasi akreditasi kampus adalah peningkatan kualitas, maka yang akan didapat adalah hilangnya banyak kesempatan pengembangan SDM yang ada. Perumus kebijakan tidak bisa menggunakan mindset kota-kota besar sebagai dasar membuat keputusan. Alangkah bijaksana jika perumus kebijakan tidak melupakan dan mengabaikan sebagian besar pegawai yang mengabdi di kota-kota kecil minim fasilitas terutama fasilitas pendidikan.

Masa waktu 2 (dua) tahun yang disyaratkan untuk memulai pendidikan di luar kedinasan dirasa juga tidak fair. Persyaratan yang sama dengan pegawai tugas belajar dimana pegawai TB dan pendidikan diluar kedinasan mendapat perlakuan dan fasilitas berbeda, tentu adalah hal yang sangat tidak adil. Jika melihat acuan dasar hukum dibuatnya RPMK ini, interest point peraturan ini adalah kepangkatan dan Penyesuaian Kepangkatan karena pendidikan yang hubungannya dengan kebutuhan organisasi itu sendiri. Mungkin tujuan disyaratkan dua tahun adalah menghambat dan meredam laju pegawai golongan II ke golongan III. Mungkin pegawai Kementerian Keuangan menggelembung pada golongan III yang menyebabkan jenis beban kinerja yang selayaknya dikerjakan golongan II, terpaksa dikerjakan oleh golongan III karena jumlahnya yang banyak. Dan hal ini menyebabkan kurang optimalnya kinerja organisasi, termasuk keadaan psikis pegawai. Jika masalahnya adalah proporsi pegawai golongan III yang menggelembung, apakah jawabannya dengan menghilangkan kesempatan belajar pegawai? Kembali sisi humanis pegawai harus dipertimbangkan. Para pegawai tentu memiliki kesempatan dan prioritas yang berbeda akan melanjutkan jenjang pendidikan. Belajar adalah hak. Kurang bijaksana rasanya menghambat kesempatan belajar pegawai. Kalau tujuannya adalah meredam laju kepangkatan, maka akan lebih bijaksana untuk meninjau persyaratan UPKP (misalnya menambah jangka waktu diperbolehkannya pegawai mengikuti UPKP, dari 2 tahun menjadi 4 tahun setelah diangkat sebagai PNS). Kebutuhan pegawai golongan II dapat dijawab dengan penerimaan pegawai Diploma I dengan pangkat II/a sehingga range masa kepangkatannya panjang. Kelebihan pegawai di level golongan III dapat mempertimbangan jumlah penerimaan CPNS golongan III dan mempertimbangkan carrier path lulusan Diploma III yang berpangkat II/C.

Seleksi yang lebih hirearki serta pembatasan peserta yang dihubungkan dengan pelanggaran peraturan yang dimaksud pada pasal 4  merupakan nilai plus. Menerapkan sistem reward and punishment bagi pegawai. Memberikan konsekuensi kepada pegawai yang melanggar peraturan dan menggunakan kinerja sebagai parameter penilaian layak tidaknya pegawai diberi kesempatan. Pegawai yang telah menyelesaikan pendidikan tidak langsung dipertimbangkan untuk ujian penyesuaian pangkat (di sisi lain, PNS tidak dibatasi memulai melanjutkan pendidikan). Selayaknya pegawai tugas belajar, pegawai yang telah menyelesaikan pendidikan diluar kedinasan, dinilai melalui penerapan ilmu akademis yang didapat terhadap kebutuhan organisasi. Setelah jangka waktu tertentu (misal 2 tahun) , atasan dapat menilai dan mempertimbangkan kelayakan pegawai yang bersangkutan untuk mengikuti UPKP. 

Yang perlu menjadi fokus peninjauan kembali RPMK ini adalah klausul penutup dimana pasal 8 menyebutkan bahwa pegawai yang sedang menjalankan pendidikan diluar kedinasan wajin menyesuaikan dengan PMK. Kita semua tidak bisa menutup mata bahwa banyak pegawai Kementerian Keuangan yang sedang melanjutkan pendidikan dengan biaya sendiri yang mungkin telah menghabiskan puluhan juta rupiah uang pribadi. Dan telah menjalani proses kuliah diluar jam kerja yang pastinya telah menghabiskan tenaga dan mengorbankan kepentingan lain. Maka klausul ini merupakan sebuah ketidakadilan terhadap pegawai yang akan berimbas pada motivasi pegawai dan perasaan dihargai oleh instansi. Belum timbulnya potensi terjadinya wanprestasi oleh pegawai terhadap lembaga pendidikan sehubungan dengan perjanjian pendidikan.

Saya percaya Kementerian Keuangan akan memihak Sumber Daya Manusianya karena SDM adalah salah satu pilar reformasi birokrasi, jiwa organisasi. Aktualisasi diri melalui belajar secara akademik merupakan hak dan kebutuhan pegawai. Jika terdapat ketimpangan akibat adanya peningkatan jenjang pendidikan pegawai (golongan dan kepangkatan) maka mekanisme dapat disesuaikan tanpa merugikan dan menghilangkan kesempatan pegawai.